1. Untuk apa sesungguhnya upaya menggali dan mengembangkan sifat, bakat, dan kemampuan anak? Itulah pertanyaan yang harus diajukan sebelum yang lain-lain.
3. Seperti sudah banyak diketahui, Gardner menggunakan kata “kecerdasan: (intelligence) sebagai “pengganti” kata bakat. Tapi, pada saat yang sama, pendekatan ini juga membahas mengenai bagaimana caranya bakat ini perlu dan dapat dikembangkan menjadi kemampuan konkret. Sekaligus, di antara – sejauh ini – sembilan kecerdasan yang diidentifikasikan oleh psikolog ini, terdapat sedikitnya 3 (tiga) kecerdasan yang bisa disebut sebagai sifat-sifat yang dapat menjadikan kecerdasan-kecerdasan (baca : bakat-bakat) yang dimiliki seorang anak benar-benar membawanya kepada kesuksesan dan, pada gilirannya, kebahagiaan hidup.
4. Gardner menyebutkan ada – sedikitnya – 9 (sembilan kecerdasan) yang mungkin dimiliki seseorang :
-
Kecerdasan Pertama : logis-matematis
Kecerdasan Kedua : linguistic-verbal (kebahasaan)
-
Kecerdasan Ketiga : spasial-visual
-
Kecerdasan Keempat : musikal
-
Kecerdasan Kelima : kinestetik-ragawi
-
Kecerdasan Keenam : naturalis
-
Kecerdasan Ketujuh : intrapersonal
-
Kecerdasan Kedelapan : interpersonal
-
Kecerdasan Kesembilan : eksistensial
5. Dua kecerdasan pertama biasanya dianggap sebagai satu-satunya faktor serba mencakup (overall single factor) ukuran kecerdasan konvensional yang biasa disebut IQ (Intelligence Quotient) – suatu pemahaman yang diruntuhkan oleh teori kecerdasan ganda ini. Nah, selain menunjukkan bahwa sesungguhnya kecerdasan bisa mengambil bentuk kecerdasan-kecerdasan lainnya – spasial, musikal, kinestetik, dan naturalis – Gardner menyebut jenis-jenis kecerdasan yang belakangan popular disebut sebagai emotional intelligence (EQ) – dalam teori Gardner ditunjukkan dengan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal --.serta spiritual intelligence (SQ) yang di sini disebut sebagai kecerdan eksistensial. Ketiga kecerdasan yang disebut terakhir ini kiranya harus dipandang sebagai sifat-sifat yang harus dikembangkan pada diri setiap anak apa pun bakat dan kemampuannya demi memastikan bahwa pada puncaknya sang anak akan dapat menjadikan bakat dan kemampuannya itu untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan hidup.
6. Jika hendak diringkaskan, keenam kecerdasan yang disebut pertama oleh Gardner – logis-matematis, linguistik (kebahasaan), musikal, spasial-visual, kinestetik-ragawi, dan naturalistik – dapat dikelompokkan ke dalam kategori keterampilan yang dibutuhkan sebagai bekal bagi keberhasilan dalam mendapatkan tempat di percaturan peran dan dan dunia kerja. Kecerdasan Keenam dan Ketujuh merupakan sifat-sifat yang penting bagi bukan hanya kesejahteraan emosional, melainkan juga jaminan bagi kemampuan memanfaatkan keterampilan-keterampilan tersebut untuk mengantar kepada kesuksesan karier. Sedang Kecerdasan Kedelapan mutlak dibutuhkan sebagai jaminan bahwa semua kesuksesan hidup yang bisa dicapai, sebaliknya dari “menggerogoti” kebahagiaan yang seharusnya lahir dari kesuksesan-kesuksesan itu, dapat benar-benar mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup itu sendiri.
7. Nah, seseorang dapat memiliki bakat dan memang memang perlu memiliki satu atau lebih kecerdasan yang masuk ke dalam kategori pertama itu. Namun, ia tak bisa tidak harus memiliki sifat-sifat yang masuk ke dalam kecerdasan-kecerdasan dalam kategori kedua dan ketiga tersebut di atas. Dalam bahasa yang popular, kecerdasan-kecerdasan kategori kedua dan ketiga itu kiranya bisa disebut sebagai kepribadian (personality), budi pekerti, dan kesadaran keagamaan. Mudah-mudahan tidak berlebihan bahwa, meski pendidikan menyangkut proses penanaman keterampilan-keterampilan atau – dalam bahasa Gardner – kecerdasan-kecerdasan praktis, pada akhirnya pendidikan bertujuan penanaman keterampilan-keterampilan hidup (life skills) yang akan membawa seseorang kepada kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
8. Jika kita pinjam peristilahan yang diperkenalkan oleh UNESCO, maka kita dapati bahwa, pada akhirnya, pendidikan bertujuan penanaman sikap untuk mau belajar terus-menerus seumur hidup yang mencakup :
-
Belajar cara untuk tahu (learn how to know)
-
Belajar cara untuk hidup (learn how to be)
-
Belajar cara melakukan (learn how to do)
-
Belajar untuk hidup bersama orang lain (learn to live together)
Catatan : Mungkin karena konstrain sekularistik, UNESCO tidak melengkapi semuanya itu dengan aspek “Belajar untuk Hidup Bersama Tuhan” meski sesungguhnya kebutuhan akan Tuhan dan keberagamaan makin diakui sebagai kebutuhan dasar manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup (Baca survey Majalah TIME tentang kembalinya agama dan Tuhan dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat, atau buku Varieties ofReligious Experience karya William James dari kelompok buku klasik atau SQ yang lebih mutaakhir, atau pun tulisan-tulisan semacam “Desecularisation of the World” karya sosiolog terkemuka Peter L. Berger, untuk sekadar menyebut beberapa contoh saja.